Jumat, 15 Februari 2013

Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje

..
[15-12-2013]

Sejarah dan budaya Aceh banyak ditulis oleh kaum orientalis barat. Konon, dokumen sejarah dan budaya Aceh terlengkap tidak dimiliki Aceh, tapi ada di Belanda dalam Atjeh Institute.

Atjeh Institute dibangun pada 31 Juli 1914 atas prakarsa Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje, yang kemudian ditetapkan dengan surat keputusan KB nomor 61 oleh pemerintah Kolonial Belanda.

Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje
Tulisan-tulisan tentang Aceh yang ditulis oleh ahli ketimuran, baik dari Belanda maupun penulis-penulis barat yang pernah membuat penelitian di Aceh, semuanya dihimpun di Atjeh Institute tersebut.

Prof Dr Aboe Bakar Atjeh dalam makalah tentang “Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah” yang disampaikan pada seminar kebudayaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) kedua tahun 1972, menyebutkan susunan pengurusan Atjeh Institute ketika itu, Ketua Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje. Sekretaris Dr C Janssen dan Prof J V.Van Werde C J Haselman sebagai Bendahara.



Untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda kala itu dalam usaha menaklukan Aceh, maka berbagai adat dan budaya serta karakteristik masyarakat Aceh diteliti di Atjeh institute. Lalu dibukukan dengan menggunakan bahasa Belanda. Buku-buku yang terlengkap tentang sejarah dan budaya Aceh yang sampai saat ini terpelihara.

Kesungguhan pemerintah kolonial Belanda dalam mendalami dan meneliti karakteristik dan budaya Aceh, tercermin dari pembentukan Atjeh Institute tersebut. Bahkan, Snouck dikirim ke Mekkah untuk mendalami Islam agar lebih mudah berintegrasi dengan masyarakat Aceh dalam melakukan penelitiannya.

Ketika itu orang Aceh menerimanya dan menempatkannya setara ulama. Sebagaimana sejarah mencatat, dimana Snouck sering menjadi khatib dimesjid-mesjid ditempat dia melakukan penelitian. Sehingga Snouck dipanggil oleh orang Aceh saat itu dengan gelar “Teungku Puteh” yang dibermakna ulama dari barat. Padahal dia sebenarnya bukan muslim, melainkan orang yang punya banyak pengetahuan tentang agama islam.

Buah dari investigasi pura-pura Islam Snouck tersebut, maka lahirlah buku budaya Aceh. Ia melakukan penelitian langsung ke Aceh setelah sebelumnya mengumpulkan data-data dari pelawatan Aceh dan Cina yang pernah singgah di Aceh, baik masa Hindu maupun setelah kedatangan Islam. Seperti Dr G A J Hazuee, dan J Kreemer.

Semua biaya penelitian mereka ditanggung oleh Atjeh Institute. Dari penelitian mereka, lahir pulalah buku-buku tentang kebudayaan dan Sejarah zaman keemasan Aceh yaitu buku “Atjeh” yang ditulis oleh Kreemer dan buku “Encyopedie Van Ned Indie”.

Buku “Atjeh” yang ditulis oleh Kreemer merupakan yang terluas cakupannya tentang identitas dan budaya rakyat Aceh. Hal itu dilatari kepentingannya menulis buku tersebut yang lebih didominir rasa tanggung jawabnya sebagai pakar sejarah dari pada kepentingan politik pemerintah kolonial Belanda saat itu.

Sementara dari kalangan jurnalis, muncul H C Zentgraaf, redaktur Kepala surat kabar Java Bode. Mantan serdadu Belanda yang pernah ikut dalam perang Aceh, setelah pensiun dari militer dan bekerja sebagai wartawan perang. Ia menulis tentang kebrutalan serdadu Moersose bentukan Belanda dalam memerangi rakyat Aceh.

Rangkuman dari pengalamannya itulah yang kemudian dikumpulkan dealam buku “Atjeh”. Zentgraaf dengan gamblang menulis tentang karakteristik, keperkasaan serta ketangguhan rakyat Aceh dalam menghadapi serangan Belanda. Zentgraaf tidak segan-segan mencela bangsanya (Belanda-red) sendiri yang terlalu arogan.

Buku Zentgraaf tersebut dengan berani diterbitkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda masih menguasai nusantara, banyak kritikus menilai buku tersebut merupakan gondam yang memukul pemerintah Belanda kala itu.

Pada masa itu ada juga beberapa penulis lainnya, yang menulis tentang Aceh, diantaranya, Van Veer, Van Graaff, van Den Plass, Van Den Nomensen, semuanya dari Belanda. Kemudian Prof. Dr Griff dari Inggris, Marcopolo dari Spanyol, dan Prof Dr. Wit Shing dari Cina.

Soal dokumentasi budaya, rakyat Jawa lebih beruntung, atas prakarsa almarhum Prof Dr DA Husein Djajninggrat berhasil melobi pemerintah kolonoal Belanda untuk membangun Java Institute di Yogyakarta dengan Museum Sono Budoyo dan majalah Jowo. Sampai sekarang masih terpelihara dengan baik.

Begitu juga di Surakarta walau tidak begitu lengkap, masih mempunyai pusat kebudayaan yang mencerminkan karakteristik daerahnya. Pusat kebudayaan yang dikenal Radio Putoko itu terdapat di lokasi latihan dan manifestasi kebudayaan yang dinamai Taman Sriwidari.

Namun Aceh, karena keunikannya dan oleh Belanda Atjeh Institute tidak dibangun di Aceh, melainkan di negeri Belanda. Karena Belanda menilai sangat penting dokumentasi tentang Aceh ketimbang daerah lainnya di nusantara yang berhasil ditaklukkannya.
Diplomasi 1602

Ketertarikan Belanda Terhadap Aceh sudah dimulai sejak diplomat Aceh, Abdul Hamid mengunjungi Belanda, yang konon katanya merupakan diplomat pertama dari asia yang menjalin hubungan dengan Kerajaan Belanda waktu itu.

Abdul Hamid diutus oleh Sultan Alauddin Al Mukamil ke negeri kincir angin tersebut. Rombongan duta Aceh itu tiba pada Agustus 1602, tapi pada 9 Agustus Abdul Hamid meninggal di negeri Eropa itu dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland.

Menurut Prof Osman Raliby dalam sebuah tulisan tentang Aceh, dunia orang Aceh berubah cepat karena pengaruh agama Islam. Hal itu kemudian ditambah dengan bersentuhannya Aceh dengan pedagang-pedagang internasional yang mencari rempah-rempah ke Aceh sejak abad ke 14.

Namun, sejak 18 Agustus 1511, Portugis yang menduduki Malaka menjadi ancaman bagi perdagangan rempah-rempah di Aceh. Raja Aceh yang sudah melakukan kontak dagang dengan kerajaan-kerajaan Islam di India, Persia, Mesir, Turki, dan Bandar-bandar dagang di Laut Merah, menyadari hal tersebut. Akan tetapi tetap menjaga hubungan dengan Portugis.

Persaingan dagang kemudian membuat hubungan itu renggang, karena Portugis berhasrat untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah di Selat Malaka. Karena itu pula Portugis berusaha menghentikan semua pengangkutan rempah-rempah dari pelabuhan Aceh.

Malah, pada tahun 1520 Laksamana dan Raja Muda Portugis di Goa, Dirgo Lopez De Sequeira mengancam dengan mengultimatum akan menyerang kapal-kapal yang melakukan kontak dagang dengan Aceh. Aceh dan Portugis pun menjadi musuh bubuyutan di selat Malaka.

Sembilan tahun kemudian (1529) Portugis ingin merebut pelabuhan Pidie dan Pase yang menjadi bandar perdagangan rempah-rempah. Namun usaha Portugis tersebut gagal. Raja Aceh berhasil menghalau Portugis untuk kembali ke Malaka. Malah pada Desember 1529, kapal-kapal Aceh muncul di depan Canannore di Pantai barat India, membantu armada Raja Kalicut yang bertempur melawan angkatan laut Portugis di Goa.

Selanjutnya, menurut Prof Dr H Aboebakar Atjeh, dalam tahun 1599–saat itu Aceh dipimpin Sultan Alauddin Riayatsyah yang dikenal dengan sebutan Sayid Al Mukammal (1588-1604)— Belanda datang ke Aceh merintis perdagangan rempah-rempah.

Orang pertama Belanda yang datang ke Aceh itu adalah dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederik de Houtman. Keduanya diutus oleh Zeewsche reeder Balthazar de Moecheron, Belanda. Keduanya datang dengan dua kapal besar dan berlabuh di Pelabuhan Kerajaan Aceh.

Menyadari adanya misi dagang Belanda ke Aceh, Portugis yang sudah duluan menduduki Malaka menghasut Kerajaan Aceh untuk tidak menerima misi dagang Belanda itu. Pasalnya, Portugis tetap berkeinginan untuk memonopoli perdagangan renpah-rempah. Apalagi waktu itu Portugis bermusuhan dengan Belanda.

Raja Aceh pun terpengaruh, dua utusan dagang Belanda itu, Frederick de Houtman dan Cornelis de Houtman ditahan. Karena negoisasi ekonomi yang gagal maka Cornelis pun kemudian dibunuh. Sementara Frederick ditangkap dan ditawan. Kedua kapal Belanda itu pun berlayar kembali ke Middelburg, Belanda.

J Kreemer, seorang penulis Belanda dalam buku “Atjeh” menjelaskan, pada November 1600 Paulus van Caerden, teman sepelayaran dengan Pieter Both memerintahkan kembali dua buah kapal dari Brabantsche Compagnie untuk merintis hubungan dagang dengan Aceh.

Paulus van Caerden berhasil membuat suatu perjanjian dagang dengan Aceh, tapi karena saat itu Aceh masih terus dihasut oleh Portugis untuk tidak bekerja sama deangan Belanda. Muatan rempah-rempah dibongkar kembali dari kapal Belanda, mereka pun kembali ke Belanda tanpa hasil apa-apa.

Saat itulah Federick de Houtman berhasil lari dari tawanan orang Aceh dan naik ke kapal Van Caerden untuk melarikan diri. Tapi ia kemudian mengurungkan niatnya dan kembali menyerahkan diri kepada Sultan Aceh. Cerita tentang peristiwa tersebut terangkum dalam De Europeers in den Maleishen Archipel, dan Het handelsverdrag van V Caerden, dalam buku J.E Heeres: Corpus Diplomaticum. Sebuah catatan tentang diplomasi dagang Belanda ke Malaka.

Pun demikian, Belanda terus berusaha untuk merintis perdagangan rempah-rempah ke Aceh. Diminasi Portugis di Selat Malaka dalam perdagangan ingin direbut Belanda. Karena pedagang pedagang dari Belanda terus saja berdatangan ke Kerajaan Aceh untuk melakukan kontak dagang hubungan dagang antara Aceh dan Portugis jadi putus.
Hubungan Dagang

Hubungan dagang Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Belanda pun resmi terjalin pada tahun 1601. Ketika itu Raja Belanda, Print Maurist melalui utusannya ke Aceh yang merintis kembali urusan dagang, mengirim sepucuk surat serta hadiah-hadiah dari Kerajaan Belanda untuk Raja Aceh.

Pedagang-pedagang dari Belanda yang membawa surat dan hadiah tersebut datang dari misi dagang Gerard le Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa buah kapal dari maskapai Zeeuw yang merupakan sebuah eskader dari Middelburg.

Utusan Raja Belanda itu ipun diterima dengan baik oleh Raja Aceh. Kepada mereka diberikan ijin mendirikan maskapai dagang untuk membeli rempah-rempah di Aceh. Sementara Frederick de Houtman dan teman-temanya yang ditahan oleh Sultan Aceh dibebaskan.

Ketika kapal Zeeuw berangkat dari Aceh membawa rempah-rempah ke Belanda, Sultan Aceh mengirim utusannya ke Belanda dengan menumpang kapal tersebut untuk menguatkan perjanjian persahabatan antara Aceh dan Belanda. Utrusan Aceh yang dikirim Sultan Alauddin Riayatsyah al Mukamil itu adalah, Abdul Hamid, duta besar Kerajaan Aceh, Laksamana Sri Muhammad, Mir Hasan, dan seorang bangsawan Aceh, serta penerjemah Leonard Werner.

Rombongan ini tiba di Belanda pada bulan Agustus 1602. kedatangan mereka disambut besar-besaran. Pada 9 Agustus Duta besar Aceh, Abdul Hamid meninggal di sana dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland. Sejarah pertemuan duta Aceh dengan Raja Belanda, Print Maurist tersebut kemudian ditulis oleh Dr J J F Wap dalam buku “Het gezantschap van den sultan van Achin (1602) aan Print Maurits van Nassau en de Oud-Nederlandsche Republiek,” 1862. [ed : AHA]
.

Sumber : 
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10151253687856791&set=a.275811021790.152796.255160681790&type=1

0 komentar:

Posting Komentar